Studi Islam Orientalist

Selasa, Oktober 30, 2012


A.    PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang didasarkan kepada dua sumber; Alquran dan Hadis tidak hanya berupa doktrin-doktrin teologis maupun doktrin sosial, tetapi lebih dari pada itu, Islam juga melahirkan peradaban. Peradaban yang dilahirkan oleh Islam melalui cendikiawan dan intelektualnya tidak hanya berwujud tradisi pemikiran, tetapi juga berupa arsitektur yang masih dapat disaksikan dewasa ini. Hal ini membuktikan bahwa Islam sebagai agama telah memberikan etos kerja yang begitu besar bagi penganutnya.
Pada zaman keemasan Islam, para intelektual muslim telah mengadakan proses transfer ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban. Pada saat itu, proses intelektual berjalan dengan lancar yang didukung oleh pemerintah Islam, sehingga melahirkan sarana intelektual seperti sekolah, perguruan tinggi dan perpustakaan. Hal ini menjadikan Islam maju di bidang peradaban. Di bidang sains, seperti kedokteran, matematika, astronomi, dan lain-lain seperti filsafat yang kemudian melahirkan keahlian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan[1].
Pada abad ke-13, kemajuan peradaban umat Islam mendapat perhatian oleh orang-orang Barat, sehingga mereka berdatangan ke dunia Islam untuk belajar sains, baru kemudian mereka kembangkan. Pada abad ke kesembilan belas, dimana dunia Islam sudah mengalami kemunduran, orang-orang Barat datang lagi ke dunia Islam yang kedua kalinya dengan membawa sains dan teknologi yang pernah mereka pelajari di dunia Islam pada abad ketiga belas setelah mereka kembangkan selama enam abad[2].
Meskipun dunia Islam mengalami  kemunduran dan Barat mengalami kemajuan, tetapi dunia Islam pada saat itu, masih menyimpan khasanah peradaban. Hal ini menjadikan orang-orang Barat yang memiliki sains dan teknologi tertarik untuk mengembangkan keahliannya dalam meneliti dan mengenali kembali dunia Islam, sehingga lahirlah orang  Barat yang ahli di bidang  ketimuran yang disebut dengan orientalis. Ketertarikan untuk mengetahui dan mengenal kembali dunia Islam itu, tidak terlepas dari tendensi politis, ekonomi, agama maupun akademik. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, lahirlah karya-karya oritentalis dalam bidang arkeologi, sejarah, bahasa, agama, kesusatraan, etnologi, kemasyarakatan, adat istiadat, politik, ekonomi, lingkungan dan lain-lain[3].
Karya-karya para orientalis di bidang agama maupun di bidang disiplin ilmu lainnya, berpengaruh kepada pemikiran intelektual muslim dewasa ini[4], karena dianggap ilmiah, rasional, berpikiran maju, berperikemanusiaan, dan karenanya lebih unggul dari dunia orient (Timur, termasuk Islam) yang disebut memiliki ciri statis, irrasional, dan terkebelakang[5]. Meskipun pada dasarnya penyataan ini – menurut Edwar Said–adalah dogma orietalis. Oleh karena itu, berbagai karya-karya memperingatkan umat Islam bahwa orientalis pada dasarnya yang berlindung dibalik "selimut objektivitas ilmiah" dan penelitian yang bersifat rasional menyisipkan agendanya untuk membendung pengaruh Islam. Meskipun pada abad ini telah muncul beberapa nama orientalis yang dianggap memiliki kecendrungan positif kepada peradaban Islam. Salah satu di antaranya adalah Montgomery Watt.
Meskipun demikian, sejarah Indonesia mencatat bahwa nama-nama orientalis yang menganggap rendah ajaran Islam antara lain Hendrik Kraemer dan Snouck Hurgronje. Keduanya meragukan agama Islam mengantarkan Indonesia ke dunia modern[6].
Mentalitas orientalis seperti ini pada dasarnya merupakan merupakan warisan dari abad pertengahan, akibat kekalahan di pihak Kristen dalam perang salib. Tulisan ini berusaha untuk membahas tentang latar belakang, dorogan, tahapan, kecenderungan, ruang lingkup serta pendekatan yang lazim dilakukan kalangan orientalist dalam pengkajian terhadap agama Islam, serta relevansinya dengan kecenderungan-kecenderungan baru dalam pengkajian Islam kontemporer.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.      Apakah studi Islam orientalist?
2.      Apakah latar belakang studi Islam orientalist?
3.      Apakah dorongan studi Islam orientalist?
4.      Apakah pendekatan yang digunakan dalam studi Islam orientalist?
5.      Apakah relevansi kajian studi Islam orientalist?

B. PEMBAHASAN

1.    Pengertian Orientalist
Orientalis adalah kata serapan dari bahasa Perancis yang asal katanya adalah orient yang berarti "Timur". Secara gegorafis, kata ini dapat diartikan "dunia Timur" dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di timur[1]. Kata orient itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna; hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan "timur". Sedangkan kata orientalisme (Belanda) ataupun orietalism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi orientalisme berarti sesuatu paham, atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya[2]. Selain dari pada itu, Edward W. Said memahami orientalis sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus menurut pengalaman orang Barat Eropa[3]. Atau dengan kata lain orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara "Timur" (the Orient) dan (hamper selalu) Barat (the Occident).
Oleh karena itu, meskipun orientalis memiliki makna yang luas, yaitu segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan, namun secara sempit, orientalis dapat diartikan sebagai kegiatan ahli ketimuran Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya agama Islam.
Kegiatan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intentitasnya yang luar biasa sejak abad ke 19 Masehi. Sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di Timur, khususnya agama Islam, sangat berbeda-beda menurut sikap mental orintelis itu.

2.    Latar Belakang Munculnya Orientalist
Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa hubungan atau kontak antara timur dengan Barat telah terjalin sejak ribuan tahun silam yang ditandai dengan perbenturan kepentingan maupun permusuhan. Sekitar tahun 600-330 SM telah terjadi hubungan perebutan kekuasaan antara Grik Tua dengan dinasti Achaemendis dari Imperium Parsi sejak masa pemerintahan Cyrus the Great (550-530 SM). Akibat kepentingan ini mendorong masing-masing pihak untuk saling mengenal dengan yang lainnya. Hubungan antara Timur dan Barat ini meninggalkan sebuah karya yang ditulis oleh Xenophon (431-378 SM) yang berjudul Anabasis yang mengisahkan 10.000 pasukan Grik yang terkepung di daerah Parsi[4].
Selanjutnya, ketika Yunani dan Romawi berhasil melakukan invasi ke Mesir, Aleksander menguasi kota Aleksandria. Kota ini dibangun oleh Aleksander Agung. Di masa ini penduduk yang ditaklukkan diwajibkan berpradaban Yunani, yang kemudian dikenal dengan hellenisme[5].
Setelah agama Islam lahir dan berhasil mengembangkan pengaruhnya, bahkan dapat mendirikan kerajaan di Andalusia (Spanyol) pada awal abad ke 8 Masehi, peradaban Islam menjadi sumber cahaya yang menerangi dunia. Di Andalusia pendidikan mencapai peringkat kemajuan tertinggi, tetapi kemudian mundur dan menjadi kerajaan Granada. Meskipun demikian, kota ini pernah menjadi pusat peradaban dunia Barat yang kemudian dihancurkan oleh Kristen Eropa pada tahun 1492 M[6].
Selain daripada itu, pada masa keemasan Islam perkembangan intelektual di kalangan umat Islam sangat menonjol sehingga berhasil membangun berbagai perguruan Tinggi Islam. Sejarah mencatat ada empat pertuguruan Tinggi tertua di dunia Islam. Perguruan Tinggi tertua dunia Islam dibelahan Timur berkedudukan di Baghdad (Irak) dan di Kairo (Mesir). Adapun perguruan Tinggi di belahan dunia Barat, berkedudukan di Kordova (Andalusia) dan Fes (Marokko).
Keempat perguruan tinggi yang dimaksud adalah Nizamiyah, Al- Azhar, Cordova dan Kairawan. Keempat perguruan tinggi Islam inilah yang sangat mempengaruhi minat Barat terhadap Dunia Timur (Islam)[7].
Sejak masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) yang berkedudukan di Damaskus diinstruksikan penggantian penggunaan bahasa untuk arsip-arsip resmi pemerintah dari bahasa setempat (Pahlevi, Kpti, Grik, Latin) ke bahasa Arab, maka sejak itu bahasa Arab telah menjadi lingua prance dalam hubungan-hubungan diplomatik, dagang, surat menyurat resmi, dunia kesusatraan dan kebudayaan, dunia ilmiah dan filsafat[8]. Oleh karena itu sejarah mencatat bahwa pada masa-masa damai sering terjadi perutusan diplomatik kaisar-kaisar Bizantium ke Bangdad ibu kota Daulah Abbasiyah sekitar tahun (750-1258) di belahan Timur. Demikian pula raja-raja Eropa, mengirimkan perutusannya ke Cordova, ibu kota Daulat Bani Umaiyyah (756-1031) di belahan Barat. Setiap kali perutusan itu senantiasa membawa berita tentang hal-hal yang menakjubkan, yang disaksikannya di ibu kota-ibukota dunia Islam itu[9].
Selain faktor politik tersebut, andil faktor ekonomi memainkan peran. Oleh karena itu para penguasa di Barat itu merasa berkepentingan pada masa-masa dami untuk mengikat persahabatan dengan pihak penguasa Islam, karena jalur perdagangan dari benua Timur, baik jalan Sutera maupun jalan laut, dikuasi oleh pemerintah Islam.

3.        Dorongan studi Islam Orientalist
Hal-hal yang mendorong kaum orientalis barat untuk menyelidiki dan mempelajari tentang ketimuran sebagai berikut[10] :
a.         Dorongan Keagamaan
Untuk menyelidiki benar tidaknya dorongan keagamaan, menjadi salah satu dorongan yang mendorong para ahli ketimuran menyelidiki dan meneliti tentang hal timur, dapat diteliti siapa saja dan dari golongan mana yang menjadi orang pertama yang memulai mempelajari hal timur. Yang dimaksud, yaitu hal keIslaman, hal keadaan kaum muslimin, peradaban, kehidupan dan penghidupannya. Mereka itu adalah dari Vatikan, tegasnya dari pendeta-pendeta Roma Katolik. Para Paus, Uskup dan pendeta Katolik yang memulai mengatur dan mengembangkan orientalisme. Dan dengan pengaruh mereka, lalu raja-raja dan penguasa-penguasa Eropa tertarik pada orientalisme.
Jadi dapat diketahui bahwa kaum orientalis yang terdahulu telah memanfaatkan hasil penelitiannya tentang agama Islam dan yang berhubungan dengan agama Islam, secara positif dan negatif. Dan banyak melontarkan hasil penelitian yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan membawa pengaruh yang jelek.
b.        Dorongan Penjajahan
Ketika berakhirnya Perang Salib, dengan kekalahan kaum Salib, pada saat itu merupakan perang agama dan pada hakekatnya perang penjajahan, orang-orang Barat tidak mudah putus asa untuk kembali menduduki negeri-negeri Arab dan orang Islam. Sewaktu kekuatan militer dan politik sudah berada dalam tangan mereka, lalu di antara yang mendorong orientalisme itu ialah untuk melemahkan perlawanan jiwa dan cita-cita dari kaum muslimin.
Dengan penelitian hal ketimuran yang di dorong oleh dorongan penjajahan, kita melihat bagaimana mereka menyampaikan konsep politik penjajahan kepada pemerintah yang menjajah negeri-negeri timur umumnya dan negeri-negeri Islam.
c.         Dorongan Perniagaan dan Ekonomi
Dorongan ini nyata sekali bagi negeri-negeri industri yang memerlukan pasaran untuk melemparkan hasil industrinya. Mereka harus meneliti kesukaan negeri-negeri yang jadi sasarannya. Kaum orientalis yang terdorong penelitiannya tentang Timur oleh dorongan ekonomi dan perniagaan, harus bekerja keras, agar tidak ketinggalan. Mereka harus menempuh cara-cara baru yang menguntungkan kedua pihak atau segala pihak, dengan memberikan pinjaman, persahabatan dan sebagainya demi kepentingan ekonomi dan perniagaan.
d.        Dorongan Politik
Dorongan ini menonjol pada masa sekarang sesudah negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Timur umumnya mencapai kemerdekaannya. Pada masa sekarang, setelah berkembang blok timur dan blok barat, maka masing-masing dari mereka berusaha mempengaruhi akan masyarakat di mana mereka ditempatkan untuk keuntungan politik dari negaranya.
Kaum orientalis yang ahli tentang ketimuran itu dengan mudah memasukkan jarumnya ke negeri-negeri timur. Demikian hebat pengaruh Barat tanpa disadari menusuk ke dalam jantung kebudayaan Indonesia, karena halusnya politik kebudayaan Barat yang diatur oleh para ahli dalam kebudayaan Barat. Dengan dorongan politik itu, dapat dihembuskan semangat perpecahan di antara sesama bangsa yang satu agama dan di antara bangsa yang berlainan agama.
e.         Dorongan Ilmiah
Dr. Mustafa as-Siba’iy menerangkan lebih lanjut, bahwa golongan yang didorong oleh dorongan ilmiah, sangat sedikit yang salah pemahamannya tentang Islam dan peninggalan Islam. Karena mereka tidak sengaja untuk menyelewengkan agama Islam dan memasukkan yang bukan-bukan ke dalam Islam.
Orientalisme memang bukan kajian obyektif dan tidak memihak Islam maupun kebudayaannya, yang diupayakan secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan orisinil, melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasikan untuk menghasut para pemuda kita agar memberontak terhadap agama mereka, dan mencemooh semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisan yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapainya adalah mencipta kekeliruan sebanyak-banyaknya di kalangan pemuda-pemuda yang belum matang dan mudah ditipu itu dengan cara menanamkan benih keraguan, sinisisme dan skeptisisme. Para orientalis juga mendorong setiap orang munafik, setiap kelompok yang tampak di permukaan untuk menanamkan perpecahan dan persengketaan di kalangan para pemimpin muslimin.
Kita benar-benar yakin bahwa orientalisme dan modernisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di lihat dari sudut pandang ideologi, tidak ada perbedaan sama sekali di antara keduanya.

4.    Tahapan Perkembangan Orientalist
Penyebab langsung munculnya orientalis atau ahli ketimuran adalah adanya studi-studi yang dilakukan oleh ilmuan Barat tentang ketimuran baik berupa sastra, sejarah, adat-istiadat,  politik, lingkungan, maupun agama di Timur Asia termasuk Islam.
Minat orang Barat untuk meneliti masalah-masalah ketimuran sudah berlangsung sejak abad pertengahan. Mereka malahirkan sejumlah karya-karya yang menyangkut masalah ketimuran. Dalam rentang waktu antara abad pertengahan sampai abad ini, secara garis besar orientalisme dapat dibagi tiga periode, yaitu (1) masa sebelum meletusnya perang salib di saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya (650-1250); (2) masa perang salib sampai masa pencerahan di Eropa; dan (3) Munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai sekarang[11].
a.    Masa Sebelum Meletusnya Perang Salib atau Masa Keemasan Dunia Islam
Ada pendapat yang mengatakan bahwa pada abad pertengahan pandangan orang Eropa tentang Islam berasal dari gagasan kitab suci dan teologis. Oleh karena itu, mitologis, teologis dan misionerlah yang berperan memberikan rumusan untuk mengembangkan wacana resmi mengenai Islam bagi kaum gereja. Secara mitologis, kaum muslim dipahami sebagai kaum Arab (saracen) keturunan Ibrahim (Abraham) melalui budaknya, Hajar (Hagar) dan putera mereka, Ismail (Ishmael)[12].
Pada zaman keemasan dunia Islam, negeri-negeri Islam, khususnya Baghdad dan Andalusia (Spanyol) menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahun. Bangsa-bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia meggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi dan adat istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka menuntut ilmu di perguran-perguruan Tinggi Arab. Sejarah mencatat bahwa di antara raja-raja Spanyol yang non muslim ada yang hanya mengenal huruf Arab (misalnya, Peter I (w. 1140, raja Aragon).
Raja Alfonso IV mencetak uang dengan huruf Arab. Hal ini sama dengan di Sicilia, Raja Normandia, Ronger I menjadikan istananya sebagai tempat para filosof, dokter-dokter, dan ahli Islam lainnya dalam berbagai ilmu pengetahuan. Keadaan ini berlanjut sampai Ronger II. Dimana pakaian kebesarannya digunakan pakaian Arab, bahkan gerejanya dihiasi dengan ukiran Arab. Wanita kristen Sicilia meniru wanita Islam dalam berbusana.
Peradaban Islam itu bukan hanya berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada di bawah atau bekas kekuasaan Islam, tetapi juga bagi orang Eropa di luar daerah itu. Penuntut ilmu dari Perancis, Inggris, Jerman dan Italiah datang belajar ke perguruan Tinggi dan Universitas yang ada di Andalusia dan Sicilia. Di antara mereka itu adalah pemuka-pemuka Kristen, misalnya Gerbert d'Aurillac yang belajar di Andalusia dan Adelard dari Bath (1107-1135) yang belajar di Andalusia dan Sicilia. Gerbert d'Aurillac kemudian menjadi Paus di Roma dari tahun 999-1003 dengan nama Sylverster II. Adapun Adelard setelah kembali ke Inggris di angkat menjadi guru Pangeran Henry yang kelak menjadi raja. Ia menjadi salah satu penerjemah buku-buku Arab ke dalam bahasa Latin[13].
Dalam suasana inilah muncul orientalisme di kalangan Barat. Bahasa Arab mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan filsafat. Pelajaran Bahasa Arab dimasukkan ke dalam kurikulum di berbagai pergurun Tinggi Eropa, seperti di Bologona (Italia) pada tahun 1076, Chartres (Prancis) tahun 1117, Oxford (Inggris) tahun 1167, dan Paris tahun 1170. Muncullah penerjemah generasi pertama, Constantinus Africanus (w. 1087) dan Gerard Cremonia (w. 1187).
Tujuan orientalisme pada masa ini adalah memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Tujuan ini meningkatkan minat mereka dalam mempelajari bahasa Arab di Universitas-universitas. Di Italia pelajaran Bahasa Arab diadakan di Roma (1303), Florencia (1321), Padua (1361) dan Gregoria (1553); di Perancis pada tahun 1217, montipellier 1221, Bordeaux 1441; di Inggris dilaksanakan di Cambrige tahun 1209, sedangkan di bagian Eropa dimulai pada abad ke 15.

b.    Masa Perang Salib sampai Masa Pencerahan di Eropa
Perang salib antara umat Islam Timur dan Kristen Barat yang menghabiskan tenggang waktu antara tahun 1096-1291 membawa kekalahan bagi Karisten. Namun demikian bukan berarti umat Islam tidak menderita. Akibat perang salib putra-putra terbaik bangsa gugur di medan tempur. Aset-aset dan kekayaan negara berupa sarana dan prasarana pada saat itu, banyak mengalami kehancuran. Kemiskinan, dekadensi moral dan kebodohan terjadi akibat perhatian para  pemimpin terpokus kepada pertahanan kekuasaan dari serangan tentara Salib. Oleh karena itu, umat Islam tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perang salib, selain dari kehancuran.
Sebaliknya, meskipun umat Kristen dinyatakan kalah, tetapi Kontak Islam-Kristen ini mempunyai sumbangsih yang sangat besar terhadap lahirnya rennaisance kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa setelah bangsa Eropa tenggelam dalam lautan kegelapan (Nasution, 1996:302).
Pada periode awal perang salib ini, dibentuklah studi Islam untuk tujuan misi pada abad ke 12 pada masa Peter Agung (sekitar 1094-1156 M), kepala Biara Pria Cluny di Prancis yang hingga saat ini menjadi lembaga utama pengetahuan Kristen. Pada tahun 1142 Peter sebagai kepala lembaga mengadakan perjalanan ke Spanyol untuk mengunjungi biara-biara Clunic. Pada saat inilah beliau memutuskan untuk melakukan sebuah proyek besar untuk melibatkan beberapa penerjemah dan sarjana, untuk memulai studi sistematis tentang Islam. Ketika Peter memberikan otoritas untuk penerjemahan dan penafsiran teks-teks Islam yang berbahasa Arab terjadilah cerita-cerita cabul tentang Nabi Muhammad. Cerita itu melukiskan Muhammad sebagai Tuhan, pendusta, penggemar wanita, seorang kristen yang murtad, tukang sihir dan sebagainya (Esposito, et al, 2001:2). Korpus (kumpulan naskah) Cluniac yang dikenal sebagai usaha Peter ini, menjadi standar pengetahuan kesarjanaan Barat tentang Islam pada saat itu (Esposito, et al, 2001:2). Banyak teks Islam yang berbahasa Arab diterjemahkan termasuk Alquran, hadis, biografi Nabi (sirah) dan teks opologetik "Opologi Alkindi" yang memuat perdebatan antara Kristen dan Muslim yang terjadi pada khalifah al-Ma'mun (813-833). Karya al-Kindi ini sangat populer di kalangan sarjana Kristen pada abad pertengahan karena memberikan model argumentasi tentang Islam. Fokus serangan-serangan ini khususnya adalah Alquran, kenabian Muhammad, dan penyebaran agama melalui penaklukan (jihad). Tiga topik ini merupakan fokus utama dalam telaah para sarjana Kristen tentang Islam pada abad pertengahan.
Dalam situasi sosial politik ini, ternyata aktivitas penerjemahan jauh lebih menarik di Eropa Kristen. Pada akhir abad ke 12 muncul sekumpulan karya peripatetik Muslim Ibn Sina (w. 1037) dan beredar di Eropa. Semakin banyaknya karya filosofis dan ilmiah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, para sarjana Eropa akhir abad pertengahan memandang Dunia Muslim kontemporer sebagai peradaban sarjana dan filosofis, yang sangat kontras dengan popularitas pandangan menghina Muhammad dan praktik religious Islam (Esposito, et al, 2001:2). Sebab lain yang menyebabkan dunia Islam dihormati adalah akibat kesuksesan militer dan diplomasi Ayyubiyah, Shalah al-Din (1138-1193) terhadap perang salib.
Sehingga kaum Kristen, baik dari kalangan sarjana, maupun pendeta pada saat itu, selain menghormati, juga mengamati sikap dan praktek religius yang shaleh dari umat Islam.
c.    Munculnya Masa Pencerahan di Eropa sampai Sekarang
Ketegangan antara Kristen dan Islam yang timbul akibat adanya tulisan-tulisan negatif dari para orinetalis yang dialamatkan kepada Islam dan umat Islam mulai mereda setelah memasuki masa pencerahan (Enlightenmen) di Eropa yang diwarnai keinginan mencari kebenaran (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:56). Sikap positif ini muncul akibat adanya perubahan religius, politik, dan intelektual yang mendalam pada reformasi pada abad ke 16 (Esposito, et al, 2001:3).
Pada masa pencerahan ini kekuatan rasio mulai meningkat, dimana sebuah tulisan yang dibutuhkan adalah objektif, bukan mengada-ada. Mulailah muncul karya-karya mengenai Islam yang mencoba bersifat positif, misalnya tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas Carlyle (1896-1947). Tidak semua tulisan mengenai Islam mengandung serangan-serangan dan menjelek-jelekkan, akan tetapi mulai ada penghargaan terhadap Nabi Muhammad saw dan Alquran serta ajaran-ajarannya.
Setelah masa pencerahan datanglah masa kolonialisme. Orang Barat datang ke dunia Islam untuk berdagang dan kemudian juga untuk menundukkan bangsa-bangsa Timur. Untuk itu bangsa-bangsa Timur perlu diketahui secara dekat, termasuk agama dan kultur mereka, karena dengan itu hubungan menjadi lancar dan mereka lebih mudah ditundukkan. Pada masa ini muncullah karya-karya yang mencoba memberikan gambaran tentang Islam yang sebenarnya (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1999:56). Misalnya, tentang agama dan adat istiadat Indonesia, mucnul tulisan-tulisan Marsden, Affles, Wilken, Keyser, Snounk Hurgrunje, Vollenhoven dan sebagainya. Bahkan pada saat Napoleon datang ke Mesir pada tahun 1789, ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat-istiadat, ekonomi, pada petanian Mesir. Di antara orientalis itu adalah Langles (ahli bahasa Arab), Villteau (mempelajari musik Arab), dan Marcel (mepelajari sejarah Mesir).
Pada periode ini tulisan-tulisan orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam seobjektif mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dipapahami lebih mendalam. Hal ini perlu karena orientalisme tidak bisa begitu saja terlepas dari kolonialisme, bahkan juga usaha kristenisasi (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,1999:57; Hanafi, 2000:27).
Namun begitu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan munculnya para orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiah dan objektif. Orientlaisme dijadikan sebagai usaha pemahaman terhadap dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah yang baru ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan utama. Di antara mereka itu adalah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massingnon, W. C. Smith, dan Frithjof Schuon.
Sir Hamilton A. R. Gibb sangat mengusai bahsa Arab dan dapat berceramah dengan bahasa Arab, sehingga ia diangkat menjadi anggota al-Majma' al-'Ilm al-'Arabi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab) di Damaskus dan al-Majma' al-Lughah al-Arabiyah (Lembaga Bahasa Arab) di Cairo, Mesir. Ia memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan Nabi Muhammad saw mempunyai akhlak yang baik dan benar. Gibb menulis buku tentang Islam dalam berbagai aspeknya sehingga mencapai lebih dari 20 buah, sehingga oleh orientalis lain ia dipandang sebagai Imam mereka tentang Islam.
Sama seperti Gibb, Louis Massingnon juga mahir berbahasa Arab dan menjadi anggota al-Majma' al-Ilm al-'Arabiy serta al-Majma' al-Lughawi. Ia pernah menjadi dosen filsafat Islam di Universitas Cairo. Ia mengatakan bahwa berkat adanya tasawuf, Islam menjadi agama internasional yang pengiktunya ada diseluruh dunia (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,1999:57).
W.C. Smith mempunyai ilmu yang mendalam tentang Islam. Ia adalah pendiri Institut pengkajian Islam di Universitas McGill di Montreal, Canada. Ia mengatakan bahwa Tuhan ingin menyampaikan risalah kepada manusia. Untuk itu Tuhan mengirim rasul-rasul dan salah satu di antara rasul itu ialah Nabi Muhammad saw. Frithof Schuon menulis buku dengan judul Understanding Islam yang mengdapat sambutan baik di dunia Islam. Sayid Hussein an-Nashr (ahli ilmu sejarah dan filsafat), misalnya, menyebut buku tersebut sebagai buku terbaik tentang Islam sebagai agama dan tuntutan hidup.
Meskipun demikian, tidak semua pendapat yang ditulis oleh para orientalis modern tentang Islam dapat diterima oleh rasa keagamaan umat Islam, meskipun secara rasional pendapat tersebut benar. Beberapa di antara mereka tidak luput dari kesalahan dalam memberikan interpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di samping juga banyak yang benar.
Kegiatan-kegiatan para orientalis meliputi : (1) mengadakan kongres-kongres secara teratur yang dimulai di Paris (1873) dan di kota-kota lain di dunia secara bergantian. Kongres-kongres pada mulanya bernama Orientalits Congres. Sejak tahun 1870 dan telah berganti nama menjadi internasional Congress on Asia and Norrth Africa; (2) mendirikan   lembaga-lembaga kajian ketimuran, di antaranya Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1975) di Perancis, the Schooll of Ariental and African Studies, Universitas London, (1917) di Inggris, Oosters Institut (1971) di Universitas Leiden, dan Institut Voor het Moderne Nabije Oosten (1956) di Universitas Amsterdam; (3) mendirikan organisasi-organisasi ketimuran, misalnya Societe Asiatique (1822) di Paris, American Oriental Society (1842) di Amerika Serikat, Royal Asiatic Society di Inggris, dan Oosters Genootschap in Nederland (1929) di Leiden; dan (4) menerbitkan majalah-majalah, di antaranya Jurnal Asiatique (1822) di Paris, Journal of the Royal Asitic Society (1899) di London, Journal of the American Oriental Society (1849) di Amerika Serikat, Revaue du Monde Musulman (1907) di Perancis, Der Islam-Zeustschrift fur Gesehichte und Kultur des Islamiscen (1919) di Jerman, The Muslim World (1917) di Amerika Serikat, dan Bulletin of the School of Oriental an African (1917) di London. Majalah-majalah ini sebagian besar tertib samapi sekarang.

5.    Ruang Lingkup Orientalist
Secara garis besar para orientalis melakukan penyelidikan meliputi berbagai bidang antra lain:
1)        Bidang kepurbakalan (archeology)
2)        Bidang sejarah (history)
3)        Bidang Agama (religion)
4)        Bidang kesusastraan (literatures)
5)        Bidang keturunan(etnology)
6)        Bidang kemasyarakatan ( sosiology)
7)        Bidang adat istiadat (Custom)
8)        Bidang kekuasaan (politic)
9)        Bidang kehidupan (ekonomi)
10)    Bidang lingkungan ( flora dan fauna)
11)    Bidang lain-lainnya[14].

Dalam kajian orientalisme mempunyai karakter khusus yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemahaman orientalisme itu sendiri yaitu Orientalisme merupakan suatu kajian yang merupakan suatu ikatan yang sangat erat hubunganya dengan kolonial barat. Khususnya kaun kolonial Britania dan Perancis sejak akhir abad 18 hingga usai perang dunia kedua. Kemudian dilanjutkan oleh kolonial Amerika (sebagai simbol kolonial barat) hingga dewasa ini.
Jadi fenomena orientalisme berkaitan erat dengan kolonialisme. Dimana ada kolonialisme , disitu pula ada orientalisme. Semua negara barat yang penjajah, mempunyai organisasi orientalisme. Orientalisme merupakan gerakan yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan gerakan kristenisasi. Hal ini terbukti dengan membengkaknya jumlah kaum nasrani yang mensepesialisasikan dirinya dalam sekolah kepasturan untuk mengkaji kitab-kitab perjanjian lama dan perjanjian baru. Kemudian mereka dipersiapkan secara khusus ( dengan bekerja sama orientalisme yahudi) untuk mempelajari tentang Islam dan kaum muslimin, dengan tujuan yang beraneka ragam. Antar lain mengenal lebih jauh masalah-masalah yang mungkin dapat digunakan sebagai sarana untuk mengotori citra Islam, menumbuhkan rasa perselisihan dikalangan umat Islam, serta menumbuhkan rasa keragu-raguan terhadap ajaran agama Islam dan berusaha semaksimal mungkin untuk memurtadkan umat ialam.
Orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat anyara kolonialisme dengan gerakan kristenisasi, yang validitas ilmiah dan obyektifitasanya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak, khususnya daam mengutarakan kajian tentang Islam. Yang demikian itu mereka lakukan dengan menggunakan segala bentuk sarana dan prasarana. Antar lain seruan untuk memajukan dan mengaktualisasikan evolusi Islam, westernisasi, dan modernisasi, asimilasi kebudayaan, ateisme,nasionalisme, dialog pendekatan antar agama.
Orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap paling potensial bekerja sebagai konsultan bagi negara dalam merencanakan politik mereka guna diterapkan pada satu wilayah jajahan yang dibarengi dengan gerakan kristenisasi diseluruh wilayah yang penduduknya beragama Islam.

6.    Pendekatan yang dilakukan Orientalsit
Studi yang dilakukan para orientalis berangkat dari pradigma berfikir bahwa Islam agama Islam yang bisa siteliti deri sudut mana saja dan dengan kebebasan sedemikian rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai, mengritik bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum Muslim tabu unuk dopermasalahkan.
Studi yang meeka lakukan meliputi seluruh aspek ajaran Islam seperti sejarah, hukum, teologi, quran, hadist, tasauf, bahasa, politik, kebuyaan dan pemikiran. Di antara mereka ada yang mengkaji Islam meliputi seluruh aspek tadi, ada juga yang hanya meneliti satu aspek saja. Philiph K Hiti, HAR Gibb, dan Montgomery Joseph Schact pada kajian hukum Islm, David Power pada kajian Quran, dan A J Arberry pada aspek tasauf.
Sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu pertama, ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia[15].
Orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang kebaradaannya tidak hanya disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam waktu dan tempat bagi Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik dan sosial timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat adalah pelaku (actor),sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang fasif. Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiapsegi tingkah laku Timur[16].
Sikap-sikap orientalis kontemporer, lanjut Said, telah menguasai pers dan pikiran masyarakat. Orang-orang Arab, umpamanya, dianggap si hidung belang yang senang menerima suap yang kekayaannya merupakan penghinaan terang-terangan terhadap peradaban sejati. Selalu ada asumsi bahwa meskipun konsumen Barat tergolong mitoritas dari penduduk dunia, mereka berhak untuk memiliki atau membelanjakan sebagian besar sumber daya dunia[17].
Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan dari peda bukti-bukti nyata dari mayarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bias mengelakan tuduhan Edward W Said baha mereka tidak mau menyelidiki perubahaan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih mengutamakan isi teks-tek kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis. Philiph K Hitti, umpanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menuutnya, masyarakat Islam yang sekarang Sembilan abad yang lalu.
Keempat, pada dasarnya Timut itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seseorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima, al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan iak mengajurkan cinta pada keerdekaan.
Keenam, kesahihan atau orientisitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sehihnya hadist seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga “hadis riwayat Josep Schacht”.

7.    Relevansi Kajian Orientalist
Berbagai macam tanggapan kaum Muslimin terhadap orientalisme. Sebagian mereka ada yang menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya orientalis. Bahkan di antara mereka ada yang secra emosional menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajaritulisan orientalis termasuk antek Zions[18].
Kajian Islam yang dilakukan para orientalis seringkali dipandang oleh kalangan Muslim tidak untuk memahami Islam secara benar, tetapi untuk mendeskreditkannya. William G. Millward, misalnya, menemukan kecurigaan kalangan Muslim terhadap kejujuran akademik kaum orientalis tadi dalam banyak literatur yang mereka tulis. Millward membandingkan, berbeda dengan penulis Muslim Arab yang biasanya lebih rasional dalam mengkritisi hasil kajian para orientalis tentang Islam, penulis Muslim Iran umumnya sangat apologetik, hingga kritik mereka terkesan emosional dan tidak argumentatif. 1 Penulis Muslim yang mempertanyakan kejujuran akademik para orientalis tersebut terutama meragukan objektifitas kajian mereka tentang al-Qur’an serta Nabi Muhammad saw. Para penulis Muslim ini menganggap bahwa sanggahan terhadap hasil penelitian mereka yang sangat merugikan Islam tersebut harus dilakukan, agar ajaran Islam bisa dikembalikan kepada pemahaman yang autentik, sebagaimana yang diyakini oleh pemeluknya.2
Secara sederhana, kata orientalis bisa diartikan “seseorang yang melakukan kajian tentang masalah-masalah ketimuran, mulai dari sastra, bahasa, sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi sampai agama dengan menggunakan paradigma Eurocentrisme, hingga menghasilkan konklusi yang distortif tentang objek kajian dimaksud.” Perkembangan orientalisme moderen berawal dari kajian terhadap Islam sebagai fenomena budaya yang tercermin dalam perilaku dan karakter spesifik pemeluknya.
Mereka mempunyai argument bahwa orientalisme bersumber pad aide-ide Kristenisasi yang menurut Islam sangat merusak dan bertujuan menyerang banteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada Faktanya tidak sdikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. H.A.R.Gibb, misalnya, dalam karyanya Mohammedanism berpendapat bahwa al-Quran hanyalah karangan nabi Muhammad; juga dengan menanamkan Islam sebagai Mohammedanism, Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini, padahal ia tahu persis tak ada seorang manusia Muslim pun berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad SAW[19].
Karakter Orientalisme yaitu: pertama, orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kolonialisme Barat; kedua, gerakan yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan kristeniasi; ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat antara kolonialisme dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan kajian tentang Islam; keempat, orientalisme merupakam bentuk kjian yang dianggap paling potensial dalam politik Barat untuk malawan Islam[20].
Sebagian lagi bersikap lebih toleran dan mereka terbagi dalam dua kelompok, bersikap sangat berlebihan, artimya semua karya tulis kaum orientalis samgat obyektif dan dapat dipercaya.
Kelompok lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis obyektif tentang Islam dan umatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja.
Maryam Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir besar di barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam lantaran mereka ecara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak diantara pengethuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang[21]. Para orientalis dari inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry brhasil menulis karya penting beripa penerjemah karya-karya Islam klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca di Eropa.
Pada umumnya para orientalis itu bener-bener menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung manbatasi cukupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informative dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang bener dan berusaha menafsirkan Islam dan pristiwa –pristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pendangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
Yang paling jelek diantara mereka adalah para orientalis yang mencoba memberikan saran kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memecahkan persoalan-persoalan kita dan apa yang seharusnya kita lakukan terhadap agama kita[22]. Kritik tajam, ilmiah dan berdampak pada dunia orientalisme datang dari Edward W Said dalam karyanya Orientalisme. Karya Guru besar Universitas Columbia, New York, ini telah menimbulkan kehebohan da kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang biasa disebut kaum orientalis.
Menurut Said, orientalisme bukna sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akarpolitis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia “oriental” bertujuan umtuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bias lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke kaasan dunia Islam, yang mencangkup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: “kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan.”
Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implicit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi “pembudayaan” terhadap duinia timur”yang terbelakang”,jika tidak”primitive”.
C. PENUTUP
Orientalisme merupakan gabungan dari kata oriental dan isme. Orient dalam bahasa Prancis sendiri berarti Timur baik secara geografis maupun etnologis. Sedangkan Ism dalam bahasa Inggris atau isme dalam bahasa Belanda berarti faham. Jadi orientalisme ialah suatu faham atau aliran yang mengkaji dan meneliti segala sesuatu tentang Dunia Timur baik dari segi agama-agama, kebudayaan dan peradaban maupun ilmu-ilmu didalamnya.
Sejarah orientalisme secara nyata telah berkembang sekitar abad ke-X M dan masih berlangsung hingga kini. Meskipun begitu pergesekan ini telah dimulai sejak masa kejayaan Islam dimana banyak sekali kaum Barat yang menimba ilmu dan belajar di Dunia Timur terutama Islam karena kejayaannya.
Ruang lingkup objek penelitian orientalisme ini sebenarnya sangat luas karena mencakup agama, budaya, bahasa, sastra, etnologis, politik dan sebagainya. Namun kajian orientalisme dalam cakupan sempitnya mengkaji ilmu-ilmu keagamaan khususnya teks-teks kitab suci dan faham serta konsep-konsep ke-Islaman.

[1] Ibid, 290
[2] Op.cit, Sou’yb, h.3
[3] Edward W Said, Orietalism diterjemahkan oleh Asep Hikmah dengan judul Orientalisme. Cet. III. (Bandung: Pustaka, 1996), h.3
[4] Op.cit, Sou’yb, h.18
[5] M.Qadari Ahdal,  Hiwarat Ma'a Urubiyyin Ghairu Muslimin diterjemahkan dengan judul Studi Wawancara dengan Sepuluh Tokoh Orientalis; Meneliti Persepsi Pakar Barat Tentang Islam. (Surabaya:Pustaka Progresif, 1996), h.v
[6] Ibid, h.v
[7] Op.cit, Sou’yb, h. 37
[8] Ibid, h.22
[9] Ibid, h.23
[10] Op.cit Sou’yb,
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid IV, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hooeve, 1999), h. 55
[12] John Esposito,  at. al. The Oxford Ensyclopedia of the ModernIslamic World diterjemahkan dengan oleh Eva Y.N dkk dengan judul Ensilopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid III. (Bandung: Mizan, 2001), h.1-2
[13] Op.cit, Dewan Redaksi Ensiklodpedi Islam, h. 56
[14] http://asmara-ida.blogspot.com/2010/10/pengertian-ruang-lingkup-dan-sejarah.html
[15] M. Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1986)
[16] Ibid.h.234
[17] Op.cit.  Edward Said, h.143-144
[19] Op.cit, Amin Rais, h.241
[20] Ahmad Abdul Hamid Ghurab, menyingkap Tabur Orientalisme, (Jakarta: pustaka al-Kautsar, 1993), h. 21.
[21] Op.cit, Maryam Jamila, h.11
[22] Ibid



[1]  Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. II. (Bandung: Mizan, 1995), h.39-40
[2] Ib.id
[3] Yoesoef Sou'yb, Orientalisme dan Islam. Cet. II. (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 3
[4]  Maryam Jamilah, Islam and Orientalism diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Islam dan Orientalism. Cet. II.( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. xviii
[5] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Cet. IV. (Bandung: Mizan, 1999), h.289
[6] Ib.id, h.290

0 komentar: